Oleh : Ev. Vistamika Wangka
Kisah Samuel, nabi dan hakim atas bangsa Israel yang memerintah pada masa transisi pada zaman hakim-hakim hingga munculnya raja, diawali dengan cerita tentang latar belakang keluarga intinya. Secara singkat Alkitab mencatat Elkana, ayah Samuel, memiliki dua istri yaitu Hana dan Penina. Hana tidak memiliki anak karena Allah menutup kandungannya (1 Samuel 1:6), oleh sebab itu Elkana mengambil Penina menjadi istri yang memberinya beberapa orang anak. Situasi menjadi tidak mudah bagi Hana. Ia sering disakiti Penina karena mandul.
Keluarga ini mempunyai kebiasaan setiap tahun pergi beribadah ke Silo, kota dimana tabut perjanjian diletakkan di rumah TUHAN sebagai pusat peribadatan umat Israel pada masa itu. Selama bertahun-tahun, setiap kali keluarga Elkana beribadah ke Silo, Hana selalu disakiti Penina, sehingga ia menjadi sedih, tidak mau makan dan tidak bisa dihibur lagi oleh suaminya. Dengan hati pedih Hana sungguh-sungguh meminta seorang anak dengan bernazar bahwa anak yang akan dilahirkan akan diserahkan kepada Tuhan.
“TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya.” Tuhan mendengar doanya. Hana mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamainya Samuel: anak yang diminta dari Tuhan. Dan pada saatnya, Hana menyerahkan Samuel kecil kepada Tuhan, melayani di rumah TUHAN di Silo. Cerita ini berakhir bahagia (happy ending).
Bagi kita yang membaca cerita secara keseluruhan, kita mengerti akhir cerita yang membahagiakan ini terjadi karena kehendak Tuhan, akan tetapi ada bagian-bagian yang bisa kita pelajari lebih lanjut, yang sering menjadi pergumulan keluarga Kristen saat ini. Salah satunya mengenai keturunan dalam keluarga.
Makna Keturunan
Umumnya keluarga di Indonesia mendambakan anak/keturunan dalam pernikahan. Hal ini tidak lepas dari tradisi yang diwarisi di berbagai suku mengenai pentingnya keturunan dan makna anak dalam keluarga. Dalam budaya Jawa, misalnya, dikenal ungkapan “banyak anak, banyak rezeki”, atau di Suku Batak Toba, anak adalah kekayaan yang paling berharga. Sedangkan di Bali, keluarga yang tidak memiliki keturunan disebut ‘nang pocol’ atau ‘men pocol’ untuk menggambarkan keluarga yang tidak beruntung.
Jika kita membaca Kitab Samuel, di awal Kitab, kita diperhadapkan pada situasi keluarga bigami (beristeri dua) yang dijalani Elkana, karena tidak memiliki keturunan. Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah makna keturunan dalam keluarga? Apakah laki-laki boleh beristeri lebih dari satu (bigami atau poligami), jika tidak dikaruniai anak dalam keluarga? Bagaimana jika suami yang mengalami kemandulan? Apakah isteri boleh melakukan poliandri?
Harus dipahami, dalam tradisi Israel pernikahan poligami dan pernikahan levirat (menikahi ipar), memang umum terjadi (bandingkan Ulangan 25:5-10). Namun demikian prinsip pernikahan monogami (memiliki satu pasangan seumur hidup) adalah prinsip utama Israel kuno, karena pernikahan merupakan suatu perjanjian (covenant). Maleakhi 2:14 misalnya memperlihatkan bagaimana pernikahan merupakan ikatan perjanjian dan Tuhanlah saksinya. Selain itu Kitab Kejadian Pasal 1 dan 2 menjadi dasar pernikahan monogami.
Elkana mengambil Penina sebagai isteri karena ia tidak memperoleh keturunan. Memiliki keturunan memang penting bagi bangsa Israel. Ketika Ribka dipinang, juru bicara keluarga mengucapkan harapan “semoga engkau menjadi beribu-ribu laksa, dan keturunanmu menduduki kota-kota musuhnya” (Kejadian 24:60). Ungkapan senada juga disampaikan kepada Rut sebelum pernikahannya dengan Boas (Rut 4:11-12). Anak, bagi pemazmur bukan hanya pemberian Tuhan, melainkan milik pusaka Tuhan. Mengapa anak begitu penting dalam keluarga Israel? Leo Perdue, menjelaskan, anak bagi bangsa Israel di zaman Perjanjian Lama memiliki makna penting karena alasan ekonomi, keamanan dan pembawa nama keluarga.
Singkatnya, secara ekonomi, kehadiran anak dalam jumlah banyak, khususnya anak laki-laki sangat membantu kehidupan keluarga Israel yang sebagian besar adalah masyarakat agraris. Sedangkan untuk alasan keamanan, keluarga besar sangat penting dalam kehidupan Israel yang selalu berperang dan diperangi musuh-musuhnya. Dalam hal membawa nama keluarga, cerita tentang seorang ibu yang memohon kepada raja agar anak laki-lakinya tidak dihukum mati karena telah membunuh saudaranya sendiri menjadi salah satu rujukan pentingannya keturunan untuk membawa nama keluarga (bandingkan 2 Samuel 14:7b).
Lalu, bagaimana dengan keluarga Kristen yang menikah tetapi tidak memiliki anak? Apa yang harus dilakukan? Merujuk pada Mazmur 127:3 yang disebutkan di atas, pemazmur menekankan anak adalah milik pusaka Tuhan. Dengan demikian, jika keluarga dikaruniai anak, mereka hanya ‘dititipkan’ anak oleh sang pemilik yaitu Tuhan. Anak adalah pemberian Tuhan. Pernikahan tanpa anak bukan sesuatu yang tercela, karena pernikahan itu sendiri adalah ikatan perjanjian dengan Tuhan, yang berkonsekuensi tanggung jawab manusia untuk tidak mengkhianati perjanjian kudus itu. Karena itu, keluarga yang tidak memiliki keturunan, tidak perlu merasa tidak lengkap, dan mencari alasan lain untuk memiliki keturunan seperti berpoligami atau bercerai.
Sebagai komunitas Kristen, kita juga tidak boleh memandang rendah pasangan yang belum dikaruniai anak, atau tidak memiliki anak, seolah-olah ada masalah dengan keluarga tersebut, dikaitkan dengan dosa masa lalu, dan lain-lain. Sikap negatif kita terhadap keluarga yang tidak memiliki keturunan ikut membuat keluarga tersebut merasa terpojok dan menyalahkan diri. Sebaliknya dengan memberi dukungan bahwa suami isteri adalah keluarga yang lengkap, dan anak adalah pemberian Tuhan yang diberikan atau tidak diberikan sesuai waktu dan kehendak Tuhan, kita menolong mereka melihat kehidupan dan makna keluarga dengan cara yang berbeda, sesuai maksud Tuhan.